Juridicial Reflection on Handling of Refugee Issues Into National Legal Instruments And Its Relevance To Resistance State Sovereignty
REFLEKSI YURIDIS ATAS PENANGANAN ISU PENGUNGSI KE DALAM INSTRUMEN HUKUM NASIONAL DAN RELEVANSINYA TERHADAP RESISTENSI KEDAULATAN NEGARA
Abstract
Dalam menghadapi era keterbukaan di berbagai bidang, aspek kedaulatan dianggap menjadi benteng lapis pertama yang menentukan ketahanan nasional dan stabilitas negara. Semakin berdaulat suatu negara, maka terdapat berbagai konsekuensi logis yang harus dihadapi, baik dalam tahap penguatan kebijakan maupun produk yuridisnya. Problematika terkait penanganan pengungsi internasional menjadi pembahasan yang dilematis bila ditinjau dari dasar hukum yang mengikatnya dan juga dengan adanya sikap politik luar negeri Indonesia yang tidak meratifikasi konvensi 1951 dan protokol 1967 terkait pengungsi. Setidaknya terdapat 145 negara yang menandatangani konvensi dan 146 negara yang menandatangani protokol tersebut sebagai intrumen hukum nasional. Adapun pertimbangan logis yang mendasari sikap Indonesia untuk tidak meratifikasi kedua instrumen hukum internasional tersebut sebagai urgensi yang harus diselesaikan. Kendati penanganan isu pengungsi pernah masuk ke dalam pembahasan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM), tetapi pada periode 2021-2025 ini arah political will lembaga legislatif mengisyaratkan bahwa urgensi terkait penanganan pengungsi tidak menjadi kajian yang harus diprioritaskan. Artikel ini akan meninjau aspek kedaulatan negara dalam merespons potensi pelanggaran hukum dari perspektif keimigrasian, yang tentunya beririsan dengan sikap moral Indonesia selaku negara transit bagi pengungsi sebelum adanya pemberlakuan pemukiman kembali (resettlement) ke negara ketiga yang menampung para pengungsi.